Sekarang lagi ramai-ramainya orang ngomong pemilu. Padahal, itu cuma iklan kecap, iklan sabun, di mana setiap perusahaan, setiap merek produk, berusaha menarik minat pembeli untuk menggunakannya. Nah, ada lagi yang lagi keren-kerennya di Aceh: kristenisasi. Ada yang sibuk nyerocos sana-sini, ada juga yang sekedar berkomentar, “ah, itu kan, cuma isu…” atau malah ada yang bingung, “memangnya, ada, seperti itu?”
Saya mulanya juga bingung. Tapi, pemilu ternyata memberi inspirasi tersendiri bagi saya. Soalnya, kristenisasi sama saja dengan pemilu, kristenisasi tidak berbeda dengan iklan kecap. Setiap umat percaya bahwa mereka wajib mengiklankan agamanya agar dianut lebih banyak orang. Sama seperti iklan "Toyota" yang bisa saja membagi-bagikan kaos bertuliskan Toyota tanpa membedakan apakah si penerima kaos itu mampu membeli Toyota. Bahkan orang yang memakai kaos Toyota belum tentu memiliki Toyota. Banyak, kok, orang yang memakai kaos Toyota tapi tidak punya Toyota, bahkan tidak punya mobil... lalu?
Islamisasi juga sama sekali tidak berbeda, umatnya merasa berkewajiban mengiklankan agamanya agar dipercaya lebih banyak orang. Sama seperti iklan sampo "Lifebuoy" yang membagi-bagikan sampel sampo "Lifebuoy" dengan ukuran mini khusus untuk promosi. Anda yang tidak suka pada sampo "Lifebuoy" boleh saja menerima sampel untuk digunakan di rumah, sedangkan kalau sampelnya sudah habis, anda beli sampo merek lainnya, tidak harus membeli sampo "Lifebuoy". Jadi, dalam prakteknya promosi agama—meminjam istilah matematika—sama sebangun dengan promosi Toyota maupun promosi sampo Lifebuoy.
Teman saya yang beragama Islam berhak untuk mengucapkan "Haleluya", mengagungkan Yesus, men-Tuhan-kan Yesus, berdoa kepada Yesus, yang kesemuanya ini hanyalah sekedar berpura-pura untuk antri mendapatkan sebungkus Supermie. Sampai di rumah, anda kembali shalat 5 waktu sebagai kewajiban anda yang percaya kepada agama Islam.
Anda yang beragama Kristen juga berhak untuk berteriak "Allahu-akbar", melakukan puasa di bulan puasa, ikutan shalat Jum'at di mesjid manapun, dan kesemuanya ini anda lakukan sekedar berpura-pura untuk mendapatkan AlQuran yang dibagi-bagikan secara gratis sehabis shalat Jum'at di bulan puasa atau sehabis shalat idul fitri di hari raya idul fitri. Anda pulang bawa kitab Suci Al Quran bukan untuk dibaca, bukan untuk dipercaya, melainkan untuk dijual jadi uang, atau untuk apa saja.
Promosi agama ataupun promosi produk barang apapun dalam praktek-prakteknya harus dipastikan tidak melanggar hukum manapun, tidak melanggar hak-hak asasi manusia yang manapun, tidak melanggar etika—periklanan--manapun. Anda tidak menjelek-jelekkan produk orang lain dalam iklan produk anda. Anda tidak boleh memaksa konsumen untuk menerima produk anda. Kalau ingin barang anda laku, kemaslah sebaik-baiknya, dan promosikan dengan sebagus-bagusnya. Seharusnya, semua ini dipahami dan dipatuhi semua umat dari agama manapun juga karena mereka berhak memilih atau membelinya.
Tapi, kok bisa, ya.. Umat Islam menuduh pihak Kristen melakukan Kristenisasi di sekolah-sekolah mereka terhadap yang beragama Islam. Sebaliknya, pihak Kristen menuduh Islamisasi boleh, tapi kenapa Kristenisasi tanpa paksaan dilarang? Mengapa Islam melarang umatnya untuk masuk sekolah Kristen? Bahkan ada spanduk yang mengharamkan umat Islam untuk bersekolah di sekolah Kristen.
Kalau kita mau jujur, yang namanya sekolah Kristen, artinya sekolah itu dibiayai dan disponsori oleh umat Kristen dan mengajarkan moral agama Kristen. Sebaliknya, yang disebut sekolah Islam demikian juga, dibiaya dan disponsori oleh umat Islam dalam mengajarkan moral-moral keIslamannya. Kalau ada murid Islam yang masuk sekolah Kristen, apapun alasannya, wajarlah untuk tunduk pada aturan-aturan sekolah itu. Bukan sebaliknya, mendikte sekolah Kristen itu untuk memaksakan moral kepercayaan keIslamannya, itu sudah merukan etika moral yang umum, di manapun juga. Seorang Kristen yang masuk sekolah di Muhammadiyah, juga belajar mengaji dan baca Al Quran, dan itu memang benar-benar terjadi.
Bagi saya, silahkan lakukan kristenisasi. Silahkan penginjil-penginjil Kristen mengiklankan agamanya. Wong, orang-orang Aceh awalnya juga bukan orang Islam, tapi berkat sukses dan mahirnya pakar-pakar “periklanan” Islam tempoe doeloe-lah, islamisasi berhasil dilaksanakan, dari komunitas Hindu—yang masih bisa ditemukan dari adat-adat dan budaya yang masih tersisa—menjadi masyarakat yang—sampai harus—berlandaskan “Syariat Islam”.
Nah, umat dan pakar-pakar islam jangan kebakaran jenggot, dong! Saat inilah keimanan anda diuji. Kualitas produk anda dites. Bagaimana anda-anda mempertahankan “pasar” anda, bagaimana anda bisa meningkatkan kualitas itu sendiri. Kalau produk anda memang bagus seperti yang digembar-gemborkan, yakinlah, konsumen anda tidak akan beralih.
Negara Indonesia adalah negara hukum. Bukan hukum Islam, dan bukan hukum Kristen, melainkan hukum yang berlandaskan UUD 45 dan Pancasila. Artinya, hukum Islam yang melarang menyembah patung-patung berhala tidaklah menyalahi hukum negara, karena hal ini hanya berlaku kepada siapapun yang mau mempercayainya, tetapi kalau anda yang percaya Islam melakukan tindakan penghancuran patung-patung berhala dan memotong kepala penganutnya, maka anda telah melakukan pelanggaran hukum negara, karena dalam hal hak untuk mengadili dan menghukum siapapun dalam negara hukum Indonesia hanya berada di tangan pengadilan negeri yang bertumpu kepada hukum negara. Demikian juga dengan pembakaran gereja oleh penyembah berhala adalah merupakan pelanggaran hukum yang harus dihukum dengan seberat-beratnya, karena meskipun tidak melanggar hukum Islam, namun melanggar hukum negara Indonesia yang ikut menandatangani perlindungan hak-hak asasi manusia.*
***stok lama.
No comments:
Post a Comment