
Di masa kanak-kanak, aku pernah bercita-cita menjadi seorang presiden. Aku tidak ingat lagi apa yang membuat aku terpana terhadap "sosok" presiden--apakah karena pancaran "aura" -nya, kesan "sangar" dalam senyumannya, perasaan "menakutkan" yang dibungkus "kharisma" wibawanya, atau--adakah sesuatu nilai yang lebih dari seorang presiden, yang membuat "aku kecil" tergila-gila ingin menjadi sepertinya. aku tidak tahu. aku tidak ingat lagi, karena aku sudah tua, sudah pikun.
Tapi tiba-tiba saja, angan-angan itu menjadi lebih rendah ketika usiaku beranjak sedikit lebih tinggi. Aku ingin menjadi menteri. Masih teringat sedikit residu masa itu, aku merasa cita-citaku terlalu tinggi dan itu pasti lebih menyulitkan. Terbayang dalam benakku kala itu, tidak ingin bersusah payah mengerjakan ini-itu. Aku hanya ingin hidupku senang, sekedar bisa bermain gunsu sepuasnya dengan teman-teman. Ingin kaya, hidup bahagia, cukup dengan main-main saja, tanpa perlu kerja keras banting tulang.
Terbayang lagi di benakku bagaimana aku harus membantu ayah-ibu di ladang dan sawah mungil milik keluarga. Kadang aku merasa seperti "digelandang" ke sana. Aku harus menafikan "keterpaksaan" itu, karena tidak ingin menjadi anak nakal, tidak berbakti pada orang tua. Akhirnya dengan keterpaksaan pula aku bisa "enjoy" berlompatan ria di lumpur sawah, memanjati pohon sambil memetik buah-buahan yang--akhirnya menyadarkan aku bahwa itu--ditanami oleh ayahku atau ayah dari ayahku.
Timbul lagi hasrat di hati. Aku ingin menjadi dokter, atau paling tidak, cukuplah mantri. Aku juga ingin menjadi pilot, atau apa saja yang menghasilkan duit berlimpah. Aku ingin jadi orang beruang banyak.
Saat usiaku beranjak dan mendekati remaja aku menjadi lebih bimbang lagi. aku memang melahap bacaan-bacaan apa saja yang menurutku enak untuk dibaca. Harian Serambi Indonesia--saat itu masih memasang motto besar-besar: terpercaya di tanah Aceh--tidak pernah absen dari genggamanku di warung kopi bersama orang yang seharusnya pantas menjadi kakekku. Ada yang senang aku ikut nimbrung bersama mereka, karena cukup dengan sepatah kata, "Kabaca beurayeuk, Nyak!--bacakan dengan keras, Nak." Yang menghardik juga tidak sedikit, "Manyak-manyak baca koran!--kecil-kecil kok baca koran." Kalau mendengar itu, aku langsung down, walau yang sempat aku lihat baru sekedar Gam Cantoi, karikatur satire favorit sampai saat ini.
Aku punya cukup banyak referensi untuk berpikir mau jadi apa aku nantinya. Aku tidak sadar kalau aku sebenarnya lebih bimbang dari sebelumnya. Sempat terbersit dalam anganku kata-kata petuah dari guru-guruku, "gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit." Aku malah menganggap itu suatu hil yang mustahal, hal yang mustahil. Kalaupun hil itu tidak mustahal, maka resikonya pasti cukup fatal. Aku terbayang bagaimana sakitnya jatuh dari ketinggian sebatas pinggang, lalu bagaimana jadinya raga kita kalau jatuhnya dari tempat yang setinggi bintang?
Aku tau, aku mulai ngaco.
Di sekolah tingkat pertama awalnya aku ingin jadi seniman kaligrafi, karena aku terpana dengan indahnya goresan itu. Tapi hanya sesaat. Aku juga sempat ingin menjadi ulama, mungkin karena aku bersekolah di pesantren. Sempat juga ingin menjadi tentara, tapi cepat-cepat kutepis karena aku yakin itu tidak mungkin. Saat itu aku sudah menderita rabun jauh--minus 5. Aku juga ingin jadi ahli pijat refleksi. Aku ingin jadi ini. Aku ingin jadi itu.
Huuuhh...
Yang pasti saat itu aku sempat menggeluti filateli, mengoleksi perangko. Dan, yang tidak pernah aku lupakan adalah melahap segala macam buku. Waktu itu, aku berlangganan buku langsung ke Gramedia Jakarta, Gema Insani Press Jakarta, Islamic Book Store Bandung, Mizan Bandung, Bina Ilmu, Bentang, dll. Aku berani bertaruh, Akulah murid pertama yang membeli buku langsung dari Jakarta kala itu, para ustaz--seniorku saja membeli buku kalau sempat pergi ke Banda Aceh. Makanya bukuku pun laris dipinjam, sampai-sampai lebih banyak tidak dikembalikan lagi.
Tentu saja aku marah!
Memasuki tingkat atas, cita-citaku berubah lagi. Gaya angan-angan kambuhanku mulai lagi, aku ingin jadi penulis. Aku sangat suka hasil karya Cak Nun--Emha, May Ziadah--tapi tidak Kahlil Gibran, Anton Chekov. Aku ingin seperti dia. Aku sempat punya koleksi tulisan yang kugoreskan di buku--yang seharusnya menjadi buku--catatan pelajaran. Aku memberinya judul "Karya Anak Bangsa", tapi akhirnya aku tidak tau ke mana hilangnya.
Aku sempat membaca tabloid Paron--walu cuma edisi terakhir. Aku juga sempat berlangganan Tabloid ADIL, membeli eceran beberapa majalah--dari TEMPO sampai POPULAR dan bahkan beberapa tabloid kuning. Dari itu, aku merasa ingin jadi jurnalis. Aku mengikuti pelatihan wartawan jarak jauh, dengan mengorbankan biaya SPP bulananku menunggak sampai 7 bulan. Beruntung, Pempinan sekolah memberi diskon pembayaran hanya cukup membayar 5 bulan saja, karena tujuanku baik walaupun cara yang aku tempuh salah. Tapi aku cukup bangga meninggalkan dayah sengan husnul khatimah.
Tapi, kenapa sekarang ini aku malah menjadi desainer grafis dan fotografer?
Ada satu kata-kata yang pernah kudengar dari Bang Murizal Hamzah, "kalau mau sukses itu bukan setia pada tempat bekerja, tapi setia pada pekerjaan." Lho, apa hubungannya? Kok, malah enggak nyambung? Ngaco, lu, ya...?
Ngantuk neh.. dah jam setengah 5 pagi...
Tapi tiba-tiba saja, angan-angan itu menjadi lebih rendah ketika usiaku beranjak sedikit lebih tinggi. Aku ingin menjadi menteri. Masih teringat sedikit residu masa itu, aku merasa cita-citaku terlalu tinggi dan itu pasti lebih menyulitkan. Terbayang dalam benakku kala itu, tidak ingin bersusah payah mengerjakan ini-itu. Aku hanya ingin hidupku senang, sekedar bisa bermain gunsu sepuasnya dengan teman-teman. Ingin kaya, hidup bahagia, cukup dengan main-main saja, tanpa perlu kerja keras banting tulang.
Terbayang lagi di benakku bagaimana aku harus membantu ayah-ibu di ladang dan sawah mungil milik keluarga. Kadang aku merasa seperti "digelandang" ke sana. Aku harus menafikan "keterpaksaan" itu, karena tidak ingin menjadi anak nakal, tidak berbakti pada orang tua. Akhirnya dengan keterpaksaan pula aku bisa "enjoy" berlompatan ria di lumpur sawah, memanjati pohon sambil memetik buah-buahan yang--akhirnya menyadarkan aku bahwa itu--ditanami oleh ayahku atau ayah dari ayahku.
Timbul lagi hasrat di hati. Aku ingin menjadi dokter, atau paling tidak, cukuplah mantri. Aku juga ingin menjadi pilot, atau apa saja yang menghasilkan duit berlimpah. Aku ingin jadi orang beruang banyak.
Saat usiaku beranjak dan mendekati remaja aku menjadi lebih bimbang lagi. aku memang melahap bacaan-bacaan apa saja yang menurutku enak untuk dibaca. Harian Serambi Indonesia--saat itu masih memasang motto besar-besar: terpercaya di tanah Aceh--tidak pernah absen dari genggamanku di warung kopi bersama orang yang seharusnya pantas menjadi kakekku. Ada yang senang aku ikut nimbrung bersama mereka, karena cukup dengan sepatah kata, "Kabaca beurayeuk, Nyak!--bacakan dengan keras, Nak." Yang menghardik juga tidak sedikit, "Manyak-manyak baca koran!--kecil-kecil kok baca koran." Kalau mendengar itu, aku langsung down, walau yang sempat aku lihat baru sekedar Gam Cantoi, karikatur satire favorit sampai saat ini.
Aku punya cukup banyak referensi untuk berpikir mau jadi apa aku nantinya. Aku tidak sadar kalau aku sebenarnya lebih bimbang dari sebelumnya. Sempat terbersit dalam anganku kata-kata petuah dari guru-guruku, "gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit." Aku malah menganggap itu suatu hil yang mustahal, hal yang mustahil. Kalaupun hil itu tidak mustahal, maka resikonya pasti cukup fatal. Aku terbayang bagaimana sakitnya jatuh dari ketinggian sebatas pinggang, lalu bagaimana jadinya raga kita kalau jatuhnya dari tempat yang setinggi bintang?
Aku tau, aku mulai ngaco.
Di sekolah tingkat pertama awalnya aku ingin jadi seniman kaligrafi, karena aku terpana dengan indahnya goresan itu. Tapi hanya sesaat. Aku juga sempat ingin menjadi ulama, mungkin karena aku bersekolah di pesantren. Sempat juga ingin menjadi tentara, tapi cepat-cepat kutepis karena aku yakin itu tidak mungkin. Saat itu aku sudah menderita rabun jauh--minus 5. Aku juga ingin jadi ahli pijat refleksi. Aku ingin jadi ini. Aku ingin jadi itu.
Huuuhh...
Yang pasti saat itu aku sempat menggeluti filateli, mengoleksi perangko. Dan, yang tidak pernah aku lupakan adalah melahap segala macam buku. Waktu itu, aku berlangganan buku langsung ke Gramedia Jakarta, Gema Insani Press Jakarta, Islamic Book Store Bandung, Mizan Bandung, Bina Ilmu, Bentang, dll. Aku berani bertaruh, Akulah murid pertama yang membeli buku langsung dari Jakarta kala itu, para ustaz--seniorku saja membeli buku kalau sempat pergi ke Banda Aceh. Makanya bukuku pun laris dipinjam, sampai-sampai lebih banyak tidak dikembalikan lagi.
Tentu saja aku marah!
Memasuki tingkat atas, cita-citaku berubah lagi. Gaya angan-angan kambuhanku mulai lagi, aku ingin jadi penulis. Aku sangat suka hasil karya Cak Nun--Emha, May Ziadah--tapi tidak Kahlil Gibran, Anton Chekov. Aku ingin seperti dia. Aku sempat punya koleksi tulisan yang kugoreskan di buku--yang seharusnya menjadi buku--catatan pelajaran. Aku memberinya judul "Karya Anak Bangsa", tapi akhirnya aku tidak tau ke mana hilangnya.
Aku sempat membaca tabloid Paron--walu cuma edisi terakhir. Aku juga sempat berlangganan Tabloid ADIL, membeli eceran beberapa majalah--dari TEMPO sampai POPULAR dan bahkan beberapa tabloid kuning. Dari itu, aku merasa ingin jadi jurnalis. Aku mengikuti pelatihan wartawan jarak jauh, dengan mengorbankan biaya SPP bulananku menunggak sampai 7 bulan. Beruntung, Pempinan sekolah memberi diskon pembayaran hanya cukup membayar 5 bulan saja, karena tujuanku baik walaupun cara yang aku tempuh salah. Tapi aku cukup bangga meninggalkan dayah sengan husnul khatimah.
Tapi, kenapa sekarang ini aku malah menjadi desainer grafis dan fotografer?
Ada satu kata-kata yang pernah kudengar dari Bang Murizal Hamzah, "kalau mau sukses itu bukan setia pada tempat bekerja, tapi setia pada pekerjaan." Lho, apa hubungannya? Kok, malah enggak nyambung? Ngaco, lu, ya...?
Ngantuk neh.. dah jam setengah 5 pagi...